TENUN IKAT, KERAJINAN YANG HARUS DIPERTAHANKAN - Ende Lio Sare Pawe
Ende Berita :
Home » » TENUN IKAT, KERAJINAN YANG HARUS DIPERTAHANKAN

TENUN IKAT, KERAJINAN YANG HARUS DIPERTAHANKAN


Selasa, 20 Agustus 2013 08:01 
Lemah gemulai tangannya menuai banyak kritikan saat tampil sebagai dirigen lagu indonesia raya pada upacara pengambilan sumpah dan pelantikan 3 Kepala Desa (kades) masing masing-masing Kades Aejeti, Paderape dan Kades Ndoriwoi di Kecamatan Pulau Ende oleh Bupati Ende, Don Bosco M. Wangge Senin (29 Juli). Lagu yang seharusnya dinyanyikan dengan tempo dimarsia malah menjadi sangat lambat dan boleh dibilang seret seperti tempo lagu-lagu himne. Saya juga sempat sedikit menggerutu tak puas. Padahal ketika ditanya dengan pasti ia menjawab “bisa”. 

Duduknya persis di sampingku yang saat itu menjadi master of ceremony (MC) pada acara tersebut. Di saat acara sambutan Bupati berlangsung, aku meliriknya dengan sedikit rasa kesal. Teringat performancennya yang menimbulkan sedikit banyaknya komentar para hadirin. Ketika sedikit meneliti, mataku tertabrak pada jari jemari mungil serta kuku-kuku lancipnya yang terlihat sedikit kotor berwarna hitam kecoklatan. Aku teringat warna tangan dan kuku-kuku mamaku di saat aku kecil dan gadis dulu. Dari situ bangkitlah memoriku tentang ketekunan dan aktivitas mama dengan ketrampilan tenun ikatnya. Kerajinan rakyat yang benar-benar menopang kehidupan kami saat itu. Gadis ini tentu aktif dengan kegiatan tenun ikat, batinku. Lirikanku merambah pada motif sarung yang dikenakannya dan berlanjut ke beberapa gadis pemegang baki yang duduk sejajar dengan kami berdua. Sontak aku jadi simpatik dengan gadis itu. Aku memulai percakapan kecil dengannya. Kami saling berbisik agar suara kami tidak terdengar karena Bupati Don Wangge sedang memberikan sambutan. Sesekali aku melirik jangan sampai gerakan mulut kami tertangkap Bupati. Aku sudah mereka-reka kalau tangannya itu terbalut pewarna benang entah alami atau sintetis. Ketika kutanya, dengan lembut ia memperkenalkan namanya, “Yunita Sari” gadis belia tersebut ternyata usianya baru 24 tahun jebolan sebuah sekolah menengah kejuruan di Kota Ende 5 tahun lalu. 

“Sejak tamat sekolah, sehari-hari saya bekerja membantu mama melakukan kegiatan tenun ikat. Awalnya jadi rutinitas yang sedikit terpaksa untuk saya. Karena waktu sekolah dan bahkan sampai sekarang, cita-cita saya adalah bekerja kantoran. Tapi mau bilang apa? Sekarang sangat sulit mencari pekerjaan apalagi hanya tamatan SMEA. Mau kuliah, terbentur biaya, karena mama yang sudah menjanda harus membiayai dua adikku yang kini duduk di bangku SMU dan perguruan tinggi dengan biaya yang tidak sedikit. Jadi untuk dapat membiayai sekolah mereka, saya juga harus bekerja membantu mama untuk menghasilkan kain tenunan lebih banyak agar kebutuhan sekolah dan kebutuhan hidup kami dapat teratasi.” 

Namun menurut pengakuan gadis cantik berkulit kuning langsat tersebut, lama-lama ia menikmati rutinitas tersebut. Dan semakin hari, ia semakin mencitai rutinitas tersebut, bahkan tingkat penasarannya semakin tinggi untuk menyelesaikan membuat motif baru, menenun sampai menjadi lembaran-lembaran kain. 

 “Ada rasa puas jika saya dapat menyelesaikan tenunan saya. Lebih-lebih kalau sedang “pete atau mengikat” membuat motifnya. Kegiatan tersebut biasa dilakukan juga pada malam hari untuk mengisi waktu kosong sebelum tidur. Namun karena rasa penasaran yang tinggi akhirnya jadi boleh dibilang kecanduan sehingga sering tidur telat karena mata tidak mengantuk. Hanya saya masih perlu belajar, lebih-lebih menciptakan motif sendiri, karena selama ini, mama yang memulai membuat motif dan saya yang melanjutkannya sampai selesai. Saya bertekat suatu saat saya harus bisa membuat mofit sendiri.” Aku gadis imut tersebut. 

Diakui Yunita, dalam sebualan, ia dan mamanya dapat menghasilkan masing-masing satu lembar kain. Kain tersebut segera dijual di pasar Ende seharga 200 sampai 300 ribu perlembar. Dan kegiatan menenun banyak dilakukan para gadis di kampungnya. Namun dari situ, tidak berarti Yunita tidak berpikir untuk mencari pekerjaan lain. Ia tetap mengimpikan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ia berharap suatu saat ia mendapatkan pekerjaan yang menjadi cita-citanya namun tetap menekuni pekerjaan menenun di rumah. Menurut Yunita, kegiatan menenun harus tetap dipertahankan dan dilestarikan karena merupakan tradisi yang ditinggalkan nenek moyang. Kain tenun ikat sangat penting, selain untuk dijual dan memenuhi kebutuhan hidup dan menjadi mata pencaharian pokok para ibu di kampung, menurutnya, kain tenunan menjadi pakaian adat, bahan antaran pada kegiatan “wuru mana” atau pesta adat dan tidak bisa digantikan dengan kain-kain lainnya. Untuk itu, Yunita berharap semua orang harus terus menghargai kain tenunan dan bagi para generasi muda khususnya para gadis, untuk mau belajar mencitai dan bergelut dengan kegiatan tersebut. 

“Jaman boleh berubah, kita pun boleh mengikuti tuntutan perkembangan jaman, namun tetap berpedoman pada nilai adat dan budaya lokal yang sudah diwariskan.” Tutur Yunita lembut mengakiri perbincangan bisik kami. (Min Anggo/Humas Pemkab) 

Ket. Foto: Yunita Sari (tengah)
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Eja Website | Kera Template | Eda Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Ende Lio Sare Pawe - Elpas Group
Template Design by Eja Published by Kera Template